Berita Kampus

Darurat Kekerasan Seksual, Retno: RUU PKS Harus Disahkan

Darurat Kekerasan Seksual (Sumber ilustrasi: Google)

SKETSA - Meski terdapat pihak yang menolak, tak sedikit yang mendukung RUU ini. Sebagai salah satu organisasi yang bergerak di bidang feminisme, Embrio Perempuan Merdeka (Empeka) turut menanti angin segar dari pengesahan RUU PKS. Meski begitu, Empeka tak menutup kekecewaan dengan munculnya penolakan dari draf RUU tersebut. Yuliani Saputri atau yang biasa dikenal dengan Putri Kalua menyuarakan pendapatnya. 

Menurut Ketua Umum Empeka Samarinda ini, RUU PKS tidak mengganti pasal yang sebelumnya sudah tertulis di KUHP. Seperti UU Aborsi, ataupun UU tentang Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT). Ia menekankan bahwa RUU PKS tidak mengubah, justru melengkapi. Salah satunya jika ada seseorang yang merasa dilecehkan, sudah tidak akan sungkan lagi untuk melaporkan kejadian tersebut, karena berbagai bentuk pelecehan diatur dalam RUU PKS. Bahkan di RUU PKS dibahas secara mendalam hal-hal apa saja yang termasuk dalam kekerasan seksual. Contoh lainnya adalah serangan pelecehan seksual melalui media sosial, misalnya melalui pesan daring.

“Kebanyakan yang kontra ini beranggapan RUU PKS apabila disahkan, akan melegalkan perzinahan, LGBT, aborsi dan bentuk-bentuk pelanggaran yang bertentangan dengan agama Islam. Mereka beranggapan, apa yang dilarang di agama itu yang dibenarkan di RUU PKS padahal sebenarnya tidak,’’ terangnya.

Berdasarkan data Komnas Perempuan, KDRT berada dalam posisi tertinggi dalam kasus kekerasan seksual, yang kemudian disusul oleh Kekerasan dalam Pacaran (KDP).

“Di sini perlu garis bawahi memang benar kalau kekerasan seksual tidak melihat status. Ketika sudah menikah bukan berarti lepas dari bentuk kekerasan seksual. Ini membuktikan bahwa KUHP tentang KDRT masih banyak kekurangan dan akan dilengkapi di RUU PKS,” kata Putri.

Putri pun menampik jika alasan kontra RUU PKS adalah adanya bentuk pelegalan LGBT. Menurutnya, hadirnya RUU PKS diharapkan  dapat memanusiakan manusia. Menurut Putri, terhambatnya pengesahan ini karena adanya penolakan keras dari berbagai pihak.

“Salah satunya karena perbedaan di masyarakat yang masih beranggapan bahwa RUU P-KS ini feminis liberal. Belum adanya satu pemikiran dan masih ada beberapa orang yang masih merasa dirugikan jika RUU PKS ini nanti disahkan,” ujar Putri.

Senada, salah seorang akademika dari Fakultas Hukum (FH), Haris Retno Susmiyati, yang merupakan Ketua Pusat Studi Perempuan dan Anak di FH menyetujui, bahwasanya RUU PKS akan memberikan perlindungan kepada perempuan yang selama ini tidak bisa dijangkau oleh hukum. Misalnya, soal kasus pelecehan secara verbal kepada Baiq Nuril. Retno mengibaratkan kasus yang menerpa Baiq Nuril dengan sebuah gunung es, yang mampu terkuak di permukaan hanyalah puncak kecilnya saja, sedangkan keseluruhannya tak terlihat.

Begitu pula dengan kasus kekerasan seksual di Indonesia, ia meyakini lebih banyak kasus kekerasan seksual yang tak terungkap. Cukup disayangkan Baiq Nuril yang merupakan korban tidak mendapat keadilan tapi justru dia harus menghadapi tuntutan hukum karena pencemaran nama baik ITE.

“Tak dapat dipungkiri jika saat ini kita melihat banyak sekali kasus kekerasan seksual dan tidak semuanya mampu di proses berdasarkan peraturan hukum yang ada. KUHP yang digunakan sekarang merupakan warisan dari zaman Belanda dan belum ada perubahan sama sekali,” paparnya.

Ia membeberkan beberapa hal mengapa ini harus segera disahkan. Pertama, rumusan-rumusan di dalam KUHP tidak cukup memberikan perlindungan karena dibuat di masa lalu yang tidak bisa menjawab kebutuhan di masa sekarang maupun di masa depan.

Kedua, munculnya beberapa kasus yang kaitannya dalam kekerasan perempuan menunjukan bahwa persoalan kekerasan dalam perempuan itu harus dirumuskan secara khusus ke dalam bentuk undang-undang. Karena, jika kasusnya seperti  Baiq Nuril yang harus menghadapi tuntutan hukum karena UU ITE, yang mengatasi multi tafsir ketentuan UU ITE itu harus dijawab dengan level undang-undang juga.

Ketiga, Retno memprediksi bahwa tidak banyaknya kasus yang terungkap karena prosedur penanganannya belum pro korban. Artinya, harus ada terobosan upaya prosedur hukum yang memungkinkan korban ini tidak menjadi korban dua kali, sudah jadi korban pelecehan atau kekerasan seksual setelah itu jadi korban lagi karena ketidaknyamanan dalam proses hukum itu.

“Kalau kita lihat prosedurnya KUHP, itu tidak membedakan laporan korban dengan laporan pelaku. Perlakuan Standart Operating Procedure (SOP)-nya penegak hukum itu sama. Karena ya masa lalu jaman sebelum merdeka, bayangkan belum ada regulasi. HAM tidak menjalankan prinsip-prinsipnya, saya kira justru itu sangat mendesak,” terangnya.

Dilansir dari laman Kompas, salah satu alasan penolakan RUU PKS adalah adanya pasal yang multi tafsir sehingga dikhawatirkan tak sesuai dengan budaya ketimuran. Namun tak disebutkan lebih lanjut pasal bagian mana yang dimaksud. Menanggapi hal ini, Retno mengakui belum bisa menemukan alasan mengapa RUU PKS ini dianggap pro zina dan LGBT.

“Saya sudah coba menelusuri petisi-petisi penolakan itu tapi tidak bisa melacak yang menjadi keberatan mereka itu di pasal yang mana dan kalimatnya apa. Kalau bisa ditemukan poin konkrit kalimat yang mereka keberatan itu, saya kira bisa didiskusikan. Karena kalau saya baca secara umum, muatan-muatan yang seperti itu justru tidak ada,’’ jelasnya.

Retno menilai, jangan sampai ketakutan yang tidak berdasar tersebut justru menyebabkan perlakuan tidak adil untuk korban, seperti membiarkan korban tidak didampingi sesuai dengan ketentuan hukum.

Mandeknya RUU PKS sendiri menurut Retno, karena pemerintah, khususnya dewan legislatif belum memberi perhatian penuh akan urgensi RUU PKS. Ada beberapa hal yang menyebabkan tertahannya pembahasan RUU PKS di meja legislatif. Salah satunya karena isu perempuan dianggap bukan isu penting dan seolah-olah pengesahan RUU PKS hanya keinginan kaum wanita saja dan dianggap tidak mengancam keberadaan suatu negara.

“Mungkin anggota DPR baru merasa itu penting kalau ada pergerakan massa ramai-ramai. Apalagi ini tahun politik, kayaknya perhatian orang lagi pada sibuk mengurusi pemilu serentak gitu ya, jadi memang urusan soal perempuan itu dianggap tidak penting makanya tidak segera dibahas gitu,” tutup Retno.  

Penyintas dalam Kekerasan Seksual

Sempat membuka kasus pelecehan dan kekerasan seksual yang dialami anggotanya, Lingkar Studi Kerakyatan (LSK) semakin berupaya melawan tindakan asusila dan perlakuan tak menyenangkan ini. Belum lagi isu RUU PKS yang membahas soal aturan terhadap kasus pelecehan dan kekerasan seksual menjadi bahan perbincangan. Hal ini tak lepas dari pro dan kotra yang mengiringi proses pengesahan rancangan tersebut. Hal ini turut menjadi bahan diskusi LSK, melalui Diyat, selaku salah satu anggota LSK mengatakan bahwa dengan disahkannya RUU PKS ini akan menjadi kemenangan kecil bagi pergerakan. Meski ini merupakan tanggung jawab bersama, bukan menyerahkan begitu saja kepada pihak pemangku kebijakan.

“Tidak terjebak pada persoalan mendukung atau tidak, tetapi ini masalah sistematis. Namun jika RUU ini disahkan, maka akan menjadi kemenangan kecil bagi pergerakan. Walaupun masih banyak kekurangan dalam RUU itu sendiri,” terang Diyat.

Seperti diketahui, beberapa waktu silam LSK sempat menyampaikan surat terbuka ke publik terkait adanya tindakan pelecehan dan kekerasan seksual yang dilakukan sesama anggota LSK. (Baca: https://sketsaunmul.co/berita-kampus/penyintas-lain-dan-pengakuan-pelaku-pelecehan-seksual/baca). Langkah tegas yang diberikan berupa pemberian kepada tiga nama yang berdasarkan penelusuran LSK merupakan pelaku. Sejauh ini, proses tindak lanjut dari kasus ini ialah memberikan pendampingan dan pemulihan kepada para penyintas dengan dibawa ke psikiater.

Dikatakan Diyat bahwa penyintas masih trauma terhadap kasus yang pernah ia alami. “Penyintas bahkan tidak mau mendiskusikan perihal kekerasan seksual yang teoritik,” kata Diyat.

Diketahui di antara tiga nama pelaku, satu di antaranya telah menunjukkan keseriusan dengan memberikan bantuan finansial untuk proses healing penyintas. Menurut Diyat, adanya kasus pelecehan dalam suatu lembaga atau organisasi bukan hanya karena amoral pelaku, tetapi juga didukung dengan kelalaian orgainsasi dan ketidakpekaan anggota secara kolektif. “Langkah pencegahan yang  jelas adalah pendalaman secara ideologis dan kerja-kerja yang efektif.”

Dilansir dari laman cnnindonesia.com, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) menargetkan RUU PKS dapat disahkan DPR pada Agustus mendatang. (ann/ira/adl)



Kolom Komentar

Share this article