Berita Kampus

Dalam Bayang-bayang Menjadi Sarjana: Skripsi, Emosi, Revisi

Cerita di balik kendala mahasiswa tingkat akhir saat mengerjakan skripsi.

Sumber Gambar: Website Unmul

SKETSA - Siapa yang tak ingin menyandang gelar cum laude? Hal itu kerap jadi angan-angan mahasiswa semester awal. Namun, tak dapat dimungkiri, terdapat beberapa kendala yang menjadi penghambat untuk mencapai impian itu. Pasalnya, tak semua mahasiswa berangkat dari kemampuan ekonomi yang mapan, serta kesiapan mental yang sama.

Potret media soal generasi Z: di usia ini sudah punya segudang pengalaman demikian, di semester sekian telah menyandang predikat ini dan itu, hingga hustle culture yang kian melekat, menambah daftar panjang kecemasan mahasiswa, khususnya mereka yang kini berada di tingkat akhir. Hal ini tercermin dalam liputan Project Multatuli April 2022 lalu. (baca: Underprivileged Gen Z)

Kendala hingga kecemasan mengerjakan tugas akhir ini juga dilihat dari menjamurnya penelitian yang menganalisis keterhubungan motivasi diri dan lingkungan untuk menyelesaikan tugas akhir mereka. Salah satunya dalam penelitian kuantitatif yang dilakukan oleh Nadilla Dzikirna Larasati dan Wandhansari Sekar Jatiningrum pada 2021 dengan judul Analisis Faktor pada Keterlambatan Studi Mahasiswa Teknik Industri Universitas Ahmad Dahlan, hasilnya menunjukkan bahwa ada dua faktor yang terdapat pada keterlambatan penyelesaian studi tepat waktu, yakni faktor potensi diri dan penyelesaian tugas akhir serta faktor keluarga dan lingkungan kampus.

Hal ini juga tergambar pada penelitian berjudul Analisis Kecemasan Mahasiswa dalam Menyelesaikan Skripsi pada 2020 oleh Husni Wakhyudin dan Anggun Dwi Setya Putri. Hasilnya menunjukkan kecemasan yang dialami selama masa penelitian itu menimbulkan ketidakpercayaan diri, gugup, hingga tertekan. Penyebab kecemasan itu datang tak lain dari faktor internal dan eksternal.

Faktor internal ini meliputi kemampuan individu untuk melakukan perencanaan penelitian dan pengetahuan dalam menguasai metode dan penulisan tugas akhir. Faktor eksternal meliputi ekonomi keluarga, panjangnya birokrasi kampus seperti syarat kelulusan yang rumit, kakunya komunikasi bersama dosen pembimbing, hingga belum jelasnya lapangan kerja yang dituju ketika menjadi fresh graduate.

Pandangan Akademisi

Adalah Ayunda Ramadhani, dosen Psikologi Unmul yang membagikan tanggapannya pada Sketsa, Rabu (13/7) lalu. Menurutnya dalam satu waktu seseorang bisa saja mengalami stressor. Ini merupakan situasi yang membuat seseorang tidak dapat menyelesaikan target yang telah dicanangkan karena adanya tekanan. 

Seperti mahasiswa yang harus bekerja walaupun ia masih perlu merampungkan skripsinya, tidak mendapat dukungan dari keluarga, serta kesulitan lain seperti dosen pembimbing yang sulit dihubungi. Terlebih ketika harapan-harapan seperti ingin cepat lulus hingga ingin mempunyai uang yang cukup ternyata tidak dapat terpenuhi lantaran segudang hambatan atas ekspektasi itu.

“Dengan banyaknya stressor atau tekanan yang tidak sebanding dengan strategi seseorang untuk mengatasi tekanan tersebut, tentunya akan memengaruhi keadaan psikologisnya,” terang Ayunda.

Ketika kondisi seseorang tengah frustrasi karena tidak dapat mengatasi tekanan yang datang, maka hal tersebut dapat berpengaruh terhadap kondisi emosional. Ada kemungkinan bahwa tekanan tersebut memicu seseorang menjadi kesal, kecewa, bahkan marah kepada dirinya sendiri, dosen, ataupun keluarga.

Kondisi negatif yang memengaruhi suasana hati tersebut kemudian berujung pada perilaku prokrastinasi, seperti menunda pekerjaan skripsi, abai terhadap tanggung jawab lainnya, serta tidak dapat berkonsentrasi dengan baik. Selain itu, orang lain akan merasa tidak nyaman ketika menjalin hubungan dengan seseorang yang emosinya tidak stabil.

“Keadaan mental seseorang sangat berpengaruh pada motivasinya untuk melakukan pekerjaan. Jika keadaan mental tidak stabil, motivasi dan produktivitas akan menurun. Selain itu juga bisa memengaruhi relasi,” sambungnya.

Sebagai pertolongan awal, mahasiswa dapat menghubungi dosen pembimbing akademik. Nantinya, dosen pembimbing akan menghubungi dan berkoordinasi dengan keluarga mahasiswa yang bersangkutan perihal kendala yang dialami. Bahkan, dapat dihubungkan dengan psikolog apabila diperlukan.

Selain itu, dirinya mengungkap bahwa terdapat alternatif yang bisa dilakukan oleh orang awam untuk menolong seseorang yang sedang mengalami polemik tersebut. Pertama, menjadi tempat bercerita dan pendengar yang aktif, serta hindari memberi nasihat dengan nada yang meremehkan.

Kedua, memberikan validasi terhadap emosi yang dirasakan, agar yang bersangkutan merasa dimengerti dan tidak semakin memendam emosi negatif tersebut. Ketiga, jangan lupa untuk menawarkan bantuan, seperti tawaran untuk mengantarnya ke psikolog atau psikiater jika dibutuhkan. “Nah, cara-cara tersebut penting sekali,” tegasnya.

Ia juga menekankan stigma buruk yang berkembang di masyarakat terkait seseorang yang menemui psikolog atau psikiater adalah Orang dengan Gangguan Jiwa (ODGJ) tentunya harus diubah. Sebab, seseorang yang pergi ke psikolog maupun psikiater adalah orang yang ingin meminta bantuan, karena sewaktu-waktu seseorang tidak bisa menyelesaikan permasalahan kita sendiri. 

“Jika kita tidak membantu diri kita sendiri, lantas siapa lagi?” tutupnya.

Mereka yang Bertarung dengan Waktu

Sketsa mewawancarai Pearly Talencia, mahasiswi FKIP 2018 pada Selasa (12/7) lalu. Kepada Sketsa, ia mengaku bahwa terdapat polemik antara dirinya dengan dosen pembimbingnya, seperti miskomunikasi. “Masalahnya di pembimbing saya, mau mengarahkan saya cuman banyak banget maunya,” tutur Pearly kesal.

Hal itu lantaran dinamika yang terjadi usai dirinya melakukan revisi seminar proposal (Sempro). Inkonsistensi pembimbing dalam memantau kemajuan Pearly menjadi kendala saat penelitian. Inkonsistensi itu berimplikasi pada waktu yang semakin panjang, karena dirinya harus terus mengubah susunan kalimat bahkan kembali ke lokasi penelitian dan melakukan berbagai konsultasi.

Melihat teman-temannya yang kini sudah berada di tahap Ujian Pendadaran, tak ayal membuatnya patah semangat karena menilai dirinya belum mencapai progres sebagaimana teman sebaya. Oleh sebab itu, ketika sedang stres lantaran skripsi yang tak kunjung rampung, ia memilih untuk menghindar berkomunikasi seperti enggannya membuka gawai dan WhatsApp.

“Karena di WhatsApp itu ada banyak orang yang bikin story, tentang progress mereka menyelesaikan skripsi. Jadi, saya, tuh, menghindari sumber penyakit. Terus, ya, refreshing aja, enggak dipikirin. Paling sekarang jadi susah tidur cepat, soalnya kepikiran terus."

Kendala tak hanya dirasakan Pearly, Rizky Rahmayanti mahasiswi FISIP 2018 ini turut mengalami problematika dalam pengerjaan tugas akhir. Ini karena keadaan rumah yang minim dukungan baik dukungan finansial dan empati, membuat dirinya merasa cepat lelah dan sulit untuk fokus.

Kendala lain seperti laptop yang sering mengalami kerusakan kerap kali mengganggunya. Terlebih, ia pun harus bekerja demi memenuhi kebutuhan finansial untuk membayar biaya kuliah.

“Dampaknya membuat saya menjadi terkesan cukup lambat untuk berprogres di tugas akhir,” ucapnya saat diwawancarai oleh Sketsa, Sabtu (23/7).

Lantas keadaan ini berujung pada gangguan kesehatan yang ia alami selama sembilan bulan terakhir. Mulai dari ketidakstabilan kondisi mental seperti stres hingga penyakit yang menyerang fisik layaknya demam, flu, anemia, dan mag. Adapun ini terjadi lantaran Rizky mempunyai sejumlah tumpukan pikiran yang mengusiknya. Meski tampaknya penyakit itu dialami semua orang, namun kualitas hidupnya menurun dan membuatnya menjadi lebih rentan.

Namun, di antara peliknya permasalahan itu, ia bersyukur mempunyai kerabat yang menunjukkan kepedulian terhadap dirinya. Untuk Rizky, pertanyaan kecil melalui pesan singkat di media sosial mengandung simpati, yang membuatnya tidak sendirian menghadapi tugas akhir.

“Saya sangat berterima kasih atas kepeduliannya sebagai teman, walaupun kami sudah cukup jarang bersua dan berbincang panjang lebar dikarenakan jarak dan kesibukan masing-masing.”

Berbeda dengan Pearly yang mengalami sejumlah persoalan dengan dosen pembimbingnya, Rizky mengaku bahwa dirinya mempunyai dosen pembimbing yang memberikan dukungan selama ini. Walaupun ia sudah sangat lama tidak melakukan bimbingan, tetapi dosen pembimbingnya tetap memberikan respons yang baik serta turut memberikan nasehat atas masalah yang sedang ia hadapi. 

Justru perasaan yang tidak enak muncul ketika ia melihat teman-temannya yang telah berprogres cukup besar dan dapat selesai tepat waktu. Tak pelak membuatnya merasa berkecil hati.

“Namun, saya sudah berusaha semampu saya sebagai manusia. Jadi, saya memilih untuk membesarkan hati dan fokus pada diri saya sendiri.”

Oleh sebab itu, Rizky berharap apabila kendala serupa turut menimpa rekan-rekan sejawatnya, alangkah baiknya jika kerabat atau keluarga terdekat terus memberikan dukungan serta ruang untuk mengekspresikan keresahan dengan bebas. Pasalnya hal itu cukup penting untuk membantu progres pengerjaan skripsi sampai selesai.

“Menurut saya, bentuk support sekecil-kecilnya itu sangat berarti,” tutupnya. 

Berbeda dengan Pearly dan Rizky, Ardiansyah mengaku bahwa problematika selama menggarap skripsi berasal dari dua faktor: internal dan eksternal. Selain karena motivasi diri, mahasiswa FKIP 2016 itu juga menuturkan bahwa tuntutan bekerja turut menjadi penghambat untuk merampungkan skripsinya.

“Karena situasinya sekarang sedang bekerja di salah satu Dinas Provinsi, dan tugasnya mengolah data beasiswa dan lain-lain. Jadi agak sibuk untuk pembagian waktunya,” jelasnya ketika diwawancarai oleh awak Sketsa melalui pesan teks WhatsApp, Selasa (26/7).

Ardiansyah masih dapat mengatasi itu semua, diakuinya ia tidak mengalami gangguan emosional yang berarti hingga membuatnya harus ke tenaga profesional. Ini juga lantaran hubungannya dengan dosen pembimbing terjalin dengan cukup baik.

“Enggak ada, cuma sebatas stres aja.”

Meski begitu, dua belas semester yang ia lalui membuatnya iri kala melihat temannya yang lain lulus lebih dulu. Ia wawas diri dengan meyakini setiap insan memiliki waktu dan proses yang berbeda dalam meraih gelar sarjana.

“Awalnya sih iri, cuman di lain sisi saya berpikir juga kalau posisi sekarang ini juga pasti ada yang pengin. Terus mikir juga kalau semua ada waktunya, dan InsyaAllah nyusul lulus juga,” tutupnya. (ems/dre/sar/nkh)



Kolom Komentar

Share this article